"Smartphone", Bencana atau Berkah?

 

Kalau pembaca ditanya apa itu smartphone, tentu jawabannya bisa bermacam-macam.

Mungkin ada yang menjawab “telepon pintar.” Lalu jawaban “komputer kecil” juga mungkin kita dengar, karena walaupun bentuknya yang kecil dan relatif lebih mudah dibawa kemana-mana, namun kemampuannya menyerupai komputer. Bahkan tidak tertutup kemungkinan jawaban yang unik seperti “teman dalam suka dan duka.” Atau bahkan ada yang menjawab sebagai “alat kepo atau alat rumpi.”

Terlepas dari berbagai macam jawaban yang bisa kita dengar, kalau kita coba telusuri di internet, ternyata tentang kapan dan siapa yang pertama kali menggunakan kata “smartphone” pun terdapat beberapa versi cerita.

Smartphone secara teknis adalah gabungan dari (dua) gawai yang berbeda fungsi yang sudah ada sebelumnya, yaitu gawai yang dipakai (berfungsi) untuk mengatur jadwal, akses internet, mencatat (memo) yang biasa disebut Personal Digital Assistance (PDA) dan telepon genggam yang fungsinya sebagai alat untuk komunikasi (melalui suara).

Pada tahun 1994, IBM merilis gawai yang bernama Simon, yang menyatukan 2 fungsi diatas, yaitu fungsi PDA dan fungsi telepon genggam dengan interface layar sentuh (touchscreen) yang masih menggunakan stylus (pulpen untuk menyentuh layar). Simon inilah kemudian dikatakan sebagai acuan dari smartphone yang kita kenal sekarang.

Sehingga setelah kemunculan Simon, beberapa produsen kemudian berlomba-lomba juga untuk membuat produk unggulan dengan konsep yang mirip. Misalnya Nokia dengan produk Communicatornya, atau Blackberry yang sempat booming juga di Indonesia dengan berbagai macam produknya . Lalu tidak ketinggalan beberapa produsen Jepang seperti Sharp yang merilis produk W-Zero3 yang berbasis sistem operasi Windows Phone.

Titik puncak dari produksi gawai yang berbasis Simon—yang kemudian bisa dikatakan sebagai revolusi gawai—adalah produk iPhone, yang dirilis oleh Apple pada musim panas tahun 2007. Selain memiliki konsep dasar dari Simon, Apple berani melakukan inovasi dengan meniadakan stylus, sehingga pengguna bisa langsung mengakses (mengoperasikan) layar sentuh pada iPhone langsung dengan jari tangan.

Sekarang orang sudah terbiasa mengoperasikan gawai langsung dengan jari tangan. Namun saat itu, inovasi Apple dengan meniadakan stylus sangat tidak populer, dan bahkan jadi bahan ejekan. Masyarakat tidak mengira bahwa sentuhan jari langsung ke layar sentuh beberapa tahun kemudian akan menjadi interface standar dari smartphone.

Sebenarnya, inovasi pada iPhone (termasuk menghilangkan stylus) bukan sesuatu yang aneh karena kalau kita mencermati apa yang dikatakan oleh Steve Jobs dalam presentasinya saat merilis iPhone, bahwa 2 keunggulan yang diusung oleh iPhone adalah “easy to use” dan “smart”. Dan memang wujud dari 2 keunggulan itu bisa kita temukan pada iPhone.

Apple memang bukan yang pertama menggunakan istilah “smartphone”. Namun setelah peluncuran iPhone, seperti yang sudah kita ketahui bersama, “smartphone” menjadi istilah yang sering digunakan untuk gawai yang mempunyai berbagai kemampuan (smart), namun mudah untuk digunakan (easy to use).

Kemudian android, yang kita tahu adalah pesaing dari iOS—sistem operasi iPhone—telat satu tahun dari Apple, meluncurkan produk smartphone-nya pertama kali pada tahun 2008. Saat ini, iOS dan android merupakan dua sistem operasi utama yang bermain dan digunakan pada produk smartphone yang beredar di pasaran.

Smartphone memang “smart” karena hampir tidak ada yang tidak bisa dilakukan dengan smartphone. Misalnya untuk mengambil foto/video, kamera sudah tidak mutlak dibutuhkan karena smartphone juga sudah mampu melakukannya. Bahkan bisa dikatakan kemampuan smartphone dalam mengambil video/gambar sudah setara atau bahkan melebihi kemampuan kamera.

Salah satu sebabnya, karena saat ini kemampuan pengambilan gambar/video pada smartphone digabungkan dengan teknologi lain misalnya sensor, sehingga menghasilkan gambar dengan pencahayaan yang lebih baik/alami. Bahkan untuk meningkatkan kemampuannya, pada beberapa smartphone yang dirilis kepasaran belakangan ini dilengkapi dengan lensa ganda.

Lalu jika kita ingin memutar lagu, atau menonton televisi atau mendengarkan radio bagaimana? Ah, itu sih masalah kecil bagi smartphone. Jika kita amati di televisi, para pencari berita juga sudah jarang menggunakan voice recorder untuk merekam pembicaraan/wawancara. Mereka lebih banyak menggunakan smartphone-nya.

Kita juga bisa menambahkan sederet kemampuan smartphone yang lain, misalnya kemampuannya untuk pengaturan jadwal, untuk navigasi, pengganti kamus cetak yang tebal berjilid, maupun untuk mencari berbagai macam informasi hanya dengan memasukkan kata kunci melalui layar keyboard, atau bahkan hanya dengan suara.

Omong-omong, pernah nggak sih pembaca penasaran dan bertanya kira-kira berapa kocek yang harus kita rogoh untuk bisa menikmati semua fungsi smartphone diatas, pada tahun 1985 sebelum ada smartphone? WebpageFX pernah menghitung bahwa untuk menikmati kemampuan semua itu, di tahun 1985 minimal kita harus merogoh kocek sebesar 32 juta dolar!

Dengan berbagai kemampuannya itu, saat ini smartphone mulai menggeser dan bahkan membahayakan kedudukan produk elektronik lain. Dengan kata lain, perkembangan (keberadaan) smartphone adalah sebuah bencana bagi produk elektronik lain.

Misalnya kita ambil contoh kamera. Baru-baru ini, produsen kamera Olympus mengumumkan bahwa mereka akan menutup pabriknya di Tiongkok, karena pasar kamera yang terus mengecil. Padahal, pada tahun 2017 yang lalu, Olympus bisa memproduksi 83 ribu kamera dari dua pabriknya di Tiongkok dan Vietnam. Dengan ditutupnya pabrik di Tiongkok, maka produksi kamera dari Olympus akan dipusatkan di Vietnam.

Saat ini, kita tahu bahwa orang lebih suka (atau condong) untuk membeli smartphone baru yang mempunyai kemampuan kamera yang bagus, dibanding dengan membeli kamera baru. Apalagi harga smartphone yang mempunyai kemampuan kamera yang mumpuni juga jauh lebih murah dari harga kamera.

Casio juga mengumumkan pada tanggal 9 Mei yang lalu bahwa mereka akan menghentikan produksi kamera digitalnya. Padahal kita tahu, Casio dengan produknya QV-10 yang dirilis tahun 1995 merupakan pelopor bentuk kamera digital sekarang, yaitu kita bisa langsung check atau melihat foto yang telah kita ambil karena adanya display yang dipasang di belakang kamera.

Produsen navigasi mobil juga merasakan bencana akibat keberadaan smartphone. Produsen navigasi seperti Panasonic di Jepang dibuat pening kepala karena saat ini masyarakat lebih suka menggunakan smartphone untuk navigasi, daripada membeli peralatan navigasi untuk mobilnya.

Lalu ada beberapa produk lain yang mengalami bencana yang sama, misalnya media/music player, voice recorder, televisi/radio portabel , dan lain-lain yang masih bisa ditambah lagi untuk memperpanjang daftar.

Dengan semakin sepinya pasar karena fungsi dari masing-masing produk tersebut sudah tergantikan oleh smartphone, maka mau tidak mau produsen kemudian menurunkan volume produksi, atau bahkan menghentikan produksinya seperti yang terjadi pada Olympus. Akibatnya, orang-orang yang bekerja disitu juga mau tidak mau akan kehilangan pekerjaan. Misalnya pada kasus penutupan pabrik Olympus di Tiongkok, dikabarkan sebanyak 1700 orang akan dirumahkan.

Sayangnya, bencana dari smartphone tidak berhenti pada produsen elektronik lain saja. Manusia sebagai pengguna dari smartphone bisa terkena imbas bencana juga.

Dengan adanya smartphone, disatu sisi memudahkan kita untuk beraktifitas dan bersosialisasi. Misalnya kita bisa “berteman” tanpa bersusah payah untuk bertemu muka. Cukup dengan sekali klik, “pertemanan” bisa terjadi. Semua orang sekarang bisa mem-broadcast apapun hanya dengan modal smartphone dan pulsa.

Namun disisi lain, smartphone juga menciptakan bencana. Kita bisa saksikan dan rasakan sendiri, bagaimana hoax, fake news, ujaran kebencian, caci maki, bully, dan lain-lain mudah kita temukan dalam media sosial—misalnya facebook, instagram, whatsapp—yang terkadang mengganggu bahkan merusak tatanan kehidupan di dalam masyarakat. Kemudahan penggunaan dan kemampuan smartphone ternyata masih banyak digunakan secara tidak smart untuk kepentingannya sendiri.

Yang menjadi pembeda antara produsen elektronik lain dan manusia adalah, produsen elektronik (lebih) rentan terhadap perkembangan teknologi baru. Tidak ada jalan lain bagi mereka kecuali pasrah dan kemudian berhenti berproduksi. Terbukti bahwa bagi beberapa produsen kamera dan navigasi seperti yang sudah ditulis sebelumnya, keberadaan smartphone merupakan bencana.

Namun manusia sebagai makhluk yang dikaruniai akal, tentunya punya kemampuan untuk menentukan sendiri, apakah dia ingin membiarkan smartphone sebagai sumber bencana, atau sebaliknya membuat smartphone itu bisa menjadi berkah bagi dirinya sendiri dan bagi lingkungan dimana dia berada (di RT, sekolah, kantor, kampus, atau cakupan yang lebih luas).

Smartphone sebagai wujud dari kemajuan teknologi, mempermudah manusia untuk melakukan segalanya. Teknologi bisa berubah (berkembang), namun manusia (seharusnya) tidak. Dari manusia pertama yaitu Adam yang diciptakan Tuhan dan dengan kodratNya, diberikan suatu yang tidak dimiliki makhluk lain yaitu akal. Tentu tujuannya diharapkan supaya manusia bisa menggunakan akalnya itu untuk kebaikan dirinya dan sesama.

Dan tujuan ini tentu tidak akan berubah sampai kapanpun. Teknologi, hanya sebagai “alat”, untuk mempermudah manusia mencapai tujuannya itu.

Manusia sebagai makhluk yang mempunyai akal, harus bisa menentukan bagaimana dia memanfaatkan smartphone sebagai salah satu wujud perkembangan teknologi, sebagai “alat” untuk mencapai tujuan asal (yang tidak berubah dari awal) keberadaan manusia itu sendiri.

Mudah-mudahan pembaca bisa menentukan pilihan yang smart dan tepat agar keberadaan smartphone bisa menjadikan berkah bagi kita semua.